Bagaimana Membaca Pengembangan NU di Luar Jawa?

nu luar jawa

Ada banyak kesan bahwa NU adalah organisasi Islam Jawa. Bukan semata karena pendukungnya kebanyakan di Jawa, tapi juga karena pandangan-pandangannya yang sedikit banyak dipengaruhi oleh budaya Jawa, Kesan dan pandangan ini dipatrikan bahkan dalam sejumlah karya ilmiah.

Kesan ini bisa jadi benar, tapi bisa jadi juga keliru. Benar, karena pada kenyataannya, memang di luar Jawa sangat sedikit sekali “NU” dan sulit sekali mencari ada organisasi NU, lebih dari sekadar ‘papan nama.’ Keliru, karena pada hakikatnya ajaran aswaja seperti yang dianut NU sangat umum dan tersebar luas di Nusantara. Dalam pengajaran di pesantren bahkan ditemukan banyaknya kesejajaran kitab-kitab yang diajarkan di pesantren Jawa maupun pesantren luar Jawa, atau Nusantara umumnya.

Kendati demikian, mengapa NU di Jawa tidak begitu berkembang dan kesan NU sebagai “Jawa’ sangat kuat?

Pertama, ini mungkin berasal dari faktor historis, di mana NU diperkenalkan pada akhir 1950an sebagai sebuah ‘partai’. Ketika NU sudah tidak lagi menjadi partai melalui pernyataannya kembali ke khittah 26, maka sirna jugalah NU tersebut. Atau ia muncul berupa politik atau politisi. Dalam hal ini NU lebih dikenal politiknya daripada sosial-keagamaannya. Saya pernah kenal dengan seorang teman dari luar Jawa yg sedang kuliah di Yogya yang tak suka NU, tapi pada saat yang sama mengeluh bahwa amal ibadah di Yogya tidak sesuai aspirasinya. Ketika suatu kali kami jumatan di Pesantren Pandanaran, dia sangat suka. Rupanya dia tidak kenal NU kecuali (kontroversi) politiknya.

Kedua, pada era Orde Baru, persebaran NU lahir dari konsekuensi logis dari program transmigrasi orang-orang Jawa dan Madura, baik dari transmigrasi pemerintah maupun transmigrasi spontan. Persebaran ini kemudian menjadi kendala karena ia terbatas hanya di kalangan orang Jawa atau Madura saja di satu sisi, dan dan di sisi lain, terhalang pandangan orang setempat terhadap pendatang, khususnya transmigran. Masalah ini menjadi kian rumit dalam konteks daerah-daerah bermasalah seperti Aceh atau Papua.

Dengan hanya bersandar pada proses ‘kebetulan’, tanpa pengorganisasian yang jelas, maka memang tak mudah mengharapkan perkembangan NU yang kuat di luar Jawa.

Di luar itu, ada lagi satu kendala –tapi bisa jadi juga dukungan— yaitu di luar Jawa ini sudah ada organisasi-organisasi berorientasi ahlusssunnah wal jamaah seperti NU– seperti Nahdlatul Watan (NW) di NTB, Al-Wasliyah dan Perti di Sumatera, Al-Khairat di Palu atau DDI (Darud Dakwah wal Irsyad) di Sulawesi- Selatan. Artinya bisa jadi tidak perlu lagi ada NU, karena organisasi-organisasi tersebut sudah memenuhi aspirasi dan inspirasi ajaran aswaja NU.

Di luar itu ada banyak kesamaan antara Islam berbasis tradisi di mana pun dan NU, seperti tradisi solawatan, tahlil, ziarah kubur, dan tak terkecuali kitab kuning. Barangkali tidak aneh jika banyak teman-teman Saya di Kalimantan Selatan mengaku senang dengan ceramah-ceramah seperti Gus Mus, Gus Baha, Gus Muwafiq, dll. Sebaliknya, banyak teman-teman di Jawa mengaku senang mendengarkan rekaman ceramah Guru Ijai, dan tuan-tuan guru lain di Kal-Sel. Ini berkat TV9, channel YouTube dll, meski agak aneh, karena masing-masing mengeluh karena bahasa lokal yang dipakai, sulit menangkap secara penuh satu sama lain.

Apapun juga penting membicarakan masalah pengembangan NU di luar Jawa, dalam arti pengembangan budaya organisasi, dengan mempertimbangkan latar belakang di atas. Memang ada kesamaan ajaran antara “kalangan Islam tradisi” di Jawa maupun di luar Jawa, seperti yang hendak dilipat dan dikunci dalam istilah “Islam Nusantara”, tetapi bagaimana pun terdapat perbedaan budaya antara keduanya. Sebagai contoh saja, di kalangan Islam tradisi di luar Jawa tak ada dan tak dikenal istilah ‘gus’ dan pesantren tidak dimiliki secara perorangan/keluarga. Mungkin lebih banyak lagi perbedaan-perbedaan, di samping kesamaan-kesamaan yang selama ini dikenal.

Singkatnya penting suatu perencanaan pengembangan NU: pertama, dengan membangun budaya organisasi, kedua: dengan mempertimbangkan pandangan-pandangan lokal yang sesuai, bukan dari sudut pandangan Jawa. Dan lain-lain.

Penulis: Hairus Salim HS, Yogyakarta.

(Catatan samping sebaga peserta “majma al-Buhuts” di Pesantren Raudhatul Thahiriyyah, Kajen, Pati)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *