Pernah kah mendengar ungkapan bahwa kita perlu mengikuti kata hati? Pertanyaan berikutnya adalah, apakah kata hati selalu benar? Sementara satu orang dengan lainnya bisa berbeda isi hatinya, suara hati mana yang benar?
Ulama Muhammad Quraish Shihab beranggapan bahwa hati nurani tidak selalu benar. Artinya kata hati juga bisa salah. Musababnya, hati nurani terbentuk oleh banyak faktor di sekitar manusia tersebut.
Ada faktor lingkungan, budaya, hingga pengetahuan. “Kalau ini (faktor pembentuknya) keliru, [maka] bisikan hatinya [juga] keliru,” kata ahli tafsir berusia 80 tahun tersebut, dikutip dari YouTube Mata Najwa dengan judul Gus Baha dan Abi Quraish Menjawab Soal Cinta, Taaruf dan Fans K-pop (Part 2).
Mungkin maksud dari Quraish Shihab, pengetahuan seseorang, yang terbentuk dari banyak pengalaman dan persinggungan hidup, membuat hati nurani seseorang berbeda-beda. Saya mencoba memahami konteks ini dengan sebuah contoh. Misalnya orang yang tumbuh di lingkungan gangster, mungkin merasa tidak masalah untuk membunuh orang yang mengganggu bisnisnya. Namun seorang petani normal, jangankan membunuh, berkelahi saja rasanya sudah tidak benar.
Quraish Shihab mencontohkan dengan seorang filusuf dan kapitalis. Misalnya ada filusuf Yunani yang melecehkan kedudukan perempuan dalam karya-karyanya, apakah orang tersebut tidak punya hati nurani? Begitupun kapitalis, apakah hati nuraninya lebih rendah dari komunis?
Pada dasarnya, semua orang punya hati nurani, dalam bentuk dan nilai yang berbeda-beda. “Tapi hati nurani kalau mau benar [maka perlu] dibentuk dengan cahaya Ilahi. Itu yang membentuk nurani,” katanya.
Untuk mendapat cahaya Ilahi, maka bisa mengambil dari sumbernya di Al-Quran atau sunnah Nabi Muhammad SAW. “Sumber segala sumber [itu adalah] Al-Quran. Itu [alasan] pentingnya ngaji Al-Quran,” kata Quraish Shihab.
–
Penulis: Antariksa Bumiswara