Apakah Santri Harus Mondok?
Saya menangkap kesan dari banyak orang yang merayakan hari santri di Facebook yang menunjukkan kesantriannya dengan mengatakan bahwa ia pernah mondok di pesantren ini, pesantren itu, ‘nyantri’ ke kyai ini dan kyai itu. ‘Nyantri’, ringkas kata menjadi identik dengan ‘mondok’.
Tidak ada yang salah dengan itu tetapi perlu juga diklarifikasi bahwa istilah nyantri itu tidak selalu berarti ‘tinggal di pesantren.’ Di kampung-kampung seperti tempat saya berasal, ada banyak orang yang sangat layak disebut Santri meski tidak tinggal di pesantren. Dari mana kualifikasinya?
Di tempat saya dulu, dan di waktu saya masih kecil, hampir semua ‘anak orang santri’ sekolah dobel. Pagi sekolah di SD atau MI (dan seterusnya ke atas), sore ke ‘Madrasah Diniyah’. Mengapa saya menyebut ‘anak orang Santri’? Karena ada banyak anak ‘abangan’ yang tidak mau atau bahkan anti sekolah diniyah. Sekolah Diniyah atau sering kami sebut ‘Sekolah Sore’, juga sah untuk menjadikan seseorang sebagai Santri.
Nah, yang agak susah adalah menjelaskan kesantrian orang semisal Habib Sandiaga Uno. Santrinya dari mana? Saya cuma tanya saja. Kalau ada yang mau nyebut dia Santri juga boleh. Sebab, di Arsenal dulu pernah ada pemain bola yang tidak bisa ngaji juga disebut santri. Iya, serius ada. Namanya Santri Cazorla.
(Penulis: Dr Arif Maftuhin, Dosen UIN Sunan Kalijaga)