Oleh: KH. Fajar Abdul Bashir, S.H.I., M.S.I, Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PWNU DIY, Pengasuh Pondok Pesantren Ar-Risalah Pandak Bantul Yogyakarya
Perdebatan tentang bid’ah di antara umat ternyata belum ada tanda-tanda akan terselesaikan. Masih ada yang bersikukuh bahwa setiap yang tidak dilakukan Rasulullah saw adalah bid’ah yang haram dilakukan. Hal inilah yang menjadikan pemahaan hukum Islam semakin lama bukan semakin luas, tapi palah mundur semakin kerdil.
Apa bila kita telisik dalam kaidah ushul fiqh bahwa sesuatu perbuatan dapat menjadi haram karena ada tiga hal:
- An-Nahy (larangan) seperti firman Allah: ولا تقربوا الزنا “jangan kalian mendekati zina”. (al-isra’: 32) Berdasarkan ayat tersebut, perbuatan zina dilarang dengan adanya an-nahy atau kata yang melarang. Larangan tersebut berdampak kepada hukum haram, karena jika suatu larangan tidak ada dalil yang mengarahkan ke hukum selain haram, maka larangan tersebut bermakna haram.
- Al-Wa’iid atau ancaman, seperti firman Allah: Allah SWT berfirman: وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّـكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ “… Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (QS. Ibrahim: Ayat 7) Adanya ancaman yang berat bagi yang tidak bersyukur menujukkan suatu hukum bahwa bersyukur itu wajib dan tidak berayukur itu haram.
- An-Naf atau meniadakan, seperti firman Allah: Allah SWT berfirman: وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًا… “… dan tidak ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain”. (QS. Al-Hujurat: Ayat 12) Adanya kata “tidak” menunjukkan bahwa perbuatan menggunjing itu diharamkan karena kata “tidak” sama dengan an-nahy atau larangan.
Selain tiga hal di atas, sebuah perbuatan tidak bisa dikatakan haram meskipun tidak dilakukan oleh Nabi dan para sahabat Nabi, kecuali ada dalil khusus yang melarang. Adanya Nabi meninggalkan melakukan sesuatu (الترك) atau Nabi tidla melakulan sesuatu, para ulama sepakat bahwa hal hal tersebut tidak bisa dijadikan hujjah haramnya sesuatu yang tidak dilakukan Nabi Muhammad saw.
Jadi, memaknai setiap sesuatu yang tidak dilakukan Nabi Muhammad saw itu haram adalah pemahaman yang tidak benar yang tidak mempunyai landasan hukum baik Al-Qur’an, As-Sunah, atau kesepakatan ulama. Dalam banyak hal, Rasulullah saw tidak melakukan suatu ibadah, tetapi para sahabat melakukan, seperti shalat tarawih 20 rekaat oleh Umar bin Khattab ra., Adzan dua kali pada shalat Jum’at pada khalifah Ustman bin Affan, membaca tasbih sebelum tidur 200 kali oleh Abu Hurairah, shalat 300 rekaat pd malam hari oleh Ahmad bin Hanbal dan lainnya.
Untuk itulah, para ulama salaf membagi bid’ah menjadi dua: yaitu sesuatu yang tidak sesuai dengan syariat, maka itu bid’ah yang haram, dan sesuatu yang tdk ada larangan secara jelas dari syariat, maka itulah bid’ah yang boleh dilakukan. Mari kita sikapi setiap perbedaan itu sebagai kekayaan hazanah keilmuan Islam, jangan justru dijadikan senjata untuk memiskinkan hazanah Islam. Semoga bermanfaat.