Karena NU itu tradisi yang dilembagakan, dan bukan lembaga yang mentradisi, maka menjadi NU itu tidak dapat diukur lewat lembaga.
Meskipun ada Kartanu, tidak semua orang ‘NU berkartu’. Orang yang tidak memiliki Kartanu tidak otomatis hilang keNUannya.
Orang yang tidak berkartu, bisa menjadi NU karena ia lahir di keluarga atau lingkungan tradisi NU. Sebut saja mereka kelompok ‘Waton NU’. Orang NU macam ini banyak sekali. Pernyataan ‘NU sebagai organisasi Muslim terbesar di dunia’ pasti hanya bisa dibenarkan jika yang disebut anggota NU mencakup kelompok ini.
Selain mereka, ada lagi yang bisa disebut sebagai “NU baiat” . Orang yang keNUannya diperkuat tidak oleh kartu, tetapi oleh baiat. Peserta pelatihan kader Ansor, Fatayat, PMII, dan semisalnya, biasanya dibaiat di akhir kegiatan untuk berkomitmen kepada organisasi.
Saya tergolong kelompok ini. Pernah jadi ketua PMII, tetapi tidak punya kartu anggota PMII. Pernah jadi pengurus wilayah NU tetapi tidak punya kartu NU. Tetapi saya pernah dibaiat di NU. Jadi, sebut saja saya ini NU baiat. Bukan NU Kartu. Bukan Waton NU.
***
Sebenarnya sih saya hanya ingin cerita: orang di foto ini adalah tukang baiat di NU. Jaman mahasiswa, beliau membaiat di pelatihan kader PMII (walaupun saya bolos karena takut dibaiat😂) dan tahun lalu membaiat saya di PKPNU.
Tulisan ini dibuat karena kemarin beliau ‘membaiat’ saya untuk tidak menulis tentang kota Depok yang macet itu.
27 Juli 2019
Penulis: Arif Maftuhin, dosen UIN Sunan Kalijaga.