Oleh Edi AH Iyubenu, wakil ketua LTN PWNU DIY.
Syariat, kita tahu, mengandung punish dan reward. Ada dosa, ada pahala. Logis belaka hal ini menjadi bagiannya. Bagaimanapun, kita adalah makhluk wadag yang cenderung tertarik kepada imbalan, bukan? Lihatlah betapa Maha Pengertiannya Allah Swt kepada kita tatkala “mengimingi” kita dengan 10 balasan bagi 1 perbuatan kebaikan dan 1 balasan saja bagi 1 perbuatan keburukan.
Tetapi, seyogianya kita pun selalu mengedepankan kerendahan hati bahwa perkara tersebut merupakan mutlak milik Allah Swt, wewenangNya, dan biar Dia Swt lah belaka yang menentukan dan memutuskannya kelak. Siapalah kita untuk merasa pantas ikut-ikutan memasuki wewenang mutlakNya tersebut?
Mungkin saja sebagian kita dalam kapasitas pendakwah menukil sebuah ayat atau hadis terkait pahala dan dosa ini. Lalu kita menerakan berdasar keterangan suatu dalil bahwa pahala mendawamkan bacaan surat al-Mulk ialah diselamatkan dari siksa kubur dan neraka atau dosa zina serupa dengan merusak dunia seisinya.
Itu penyampaian yang sahih belaka. Toh begitu pula memang bunyinya –dan lain-lainnya.
Namun, janganlah lantas kita lancag memberanikan diri membekap-bekap Kemahakuasaan Allah Swt mesti begini atau begitu berdasar keterangan-keterangan dalil apa pundalam menentukan apa pun yang hendak diterjadikanNya. Mesti selalu dijadikan sumber rohani kita semua betapa Alah Swt adalah Dzat Yang Maha Bebas, Mutlak Berkehendak, Maha Memutuskan, dan sejenisnya, dan karenanya tak pernah terikat oleh apa pun, termasuk mungkin saja bunyi teks suatu dalil.
Ayat tentang sedekah begitu berimpah dalam al-Qur’an. Pahalanya berupa dilimpahkan rezeki begitu luas dikatakanNya. Tetapi, Allah Swt juga menyatakan bahwa kepada hambaNya (termasuk ahli sedekah) yang dikehendakiNya bisa saja Allah Swt meluaskan rezekinya ataupun menyempitkannya. Jika Allah Swt sedang menyempitkan rezeki sang ahli sedekah, apakah pantas bagi kita untuk lalu meragukan kebenaran kalam Allah Swt dan KemahakuasaanNya? Tentu tidak.
Begitulah hakikat Kemahakuasaan Allah Swt yang tak terbatas, yang mungkin saja pada sautu titik mengatasi segala bunyi teks dalil maupun nalar logika kita.
Pun begitu pula seyogianya terkait limpahan ampunanNya kepada siapa pun yang dikehendakiNya. Meski memang banyak ayat dan hadis yang menuturkan bahwa Allah Swt akan mengazab manusia yang bermaksiat kepadaNya, tetapi di detik yang sama mesti kita yakini dengan haq betapa ampunan Allah Swt amatlah luas, lebih luas dari langit dan bumi, yang mungkin saja dikaruniakanNya kepada seseorang yang ahli maksiat, kapan saja, entah dengan jalan apa saja. Bukankah telah pula dikatakanNya, “Dan janganlah berputus asa dari pertolongan Allah Swt, sesungguhnya takkan berputus asa dari pertolongan Allah Swt kecuali orang-orang yang kafir.”
Dalam sebuah riwayat, dalam pelarian Nabi Musa As dan rombongannya, mereka kehausan di tengah jalan, di padang pasir yang kerontang. Nabi Musa As lalu berdoa kepada Allah Swt meminta turun hujan. Allah Swt menjawab bahwa Dia Swt takkan menurunkan hujan karena ada satu orang ahli maksiat selama 40 tahun di dalam rombongannya.
Nabi Musa As lalu mengabarkan hal tersebut kepada rombongannya dan meminta seseorang dimaksud itu keluar dari barisan dengan penuh kesadaran demi kemaslahatan seluruh rombongan.
Orang tersebut bergetar hatinya. Ia sadar dirinya penuh dosa, dan karenanya pula Allah Swt sampai enggan menurunkan hujan buat rombongannya yang sangat kehausan. Tapi rasa malu begitu hebatnya sebab bila ia keluar dari barisan niscaya semua orang akan tahu seketika bahwa dia lah si ahli maksiat selama 40 tahun itu.Ia menekuk kepala dan menangis memohon ampunan kepada Allah Swt.
Turun hujan tiba-tiba. Nabi Musa As heran dan bertanya kepada Allah Swt terkait turunnya hujan tersebut padahal belum ada satu orang pun, si ahli dosa, yang keluar dari barisannya.
Allah Swt mengatakan kepada Nabi Musa As bahwa si ahli maksiat tersebut telah bertobat dengan hati yang sungguh-sungguh, menangis, maka diampunilah dosa-dosa bermaksiatnya selama 40 tahun.
Ya, begitu saja, sesuai kehendakNya saja. Tak ada kesulitan, kerumitan, dan pihak yang mesti menanggung malu. Jika Allah Swt telah berkehendak, ya terampunilah dosanya, sebesar apa pun.
Dalam Riyadhus Shalihin karya Imam Nawawi, disebutkan sebuah riwayat dari Jundub bin Abdullah Ra bahwa Rasulullah Saw bersabda; “Ada seorang lelaki berkata, ‘Demi Allah, Allah Swt tidak akan memberikan ampunan kepada si Fulan itu.’ Allah Swt lalu berfirman, ‘Siapakah yang berani menyumpahi atas namaKu bahwa Aku tidak akan mengampuni dosa si Fulan itu? Sesungguhnya Aku telah mengampuni dosa si Fulan itudan Aku menghapuskan pahala amalanmu, yakni yang bersumpah tadi.’” (HR Muslim).
Hadis tersebut menjadi pengingat buat kita semua untuk tidak pernah menilai-nilai dosa orang lain, sebesar apa pun yang kita tahu, apalagi lancang menyatakannya bakal diazab oleh Allah Swt dan ahli neraka. Tidak.
Rahman RahimNya sungguhlah tak pantas untuk kita takar-takar, begitupun MaghfirahNya. Maghrifah Allah Swt sungguh begitu agungnya dan tiada satu pun dari kita yang tahu bagaimana cara kerjanya, sebab-musababnya, dan bagaimana Allah Swt mengaruniakannya kepada siapa pun.
Ketidaktahuan ini seyogianya menjadikan kita senantiasa berendah hati di hadapan KemahakuasaanNya. Bahkan umpama kita sedang begitu tekunnya beribadah kepadaNya, menjalankan syariatNya dengan sepenuh waktu, dengan mengejar seluruh fadhilah amal yang kita ketahui, yang sunnah-sunnah bahkan, biarkanlah perkara ampunanNya tetap dan tetap selamanya menjadi wewenang mutlakNya.
Jangan sampai kita menjadi golongan yang dikecam oleh Allah Swt, sebagaimana hadis tersebut, hanya karena kita merasa lebih saleh dan alim, lebih baik, lebih suci, dibanding orang lain yang belum setekun kita dalam beribadah kepadaNya, menjalankan syariatNya.
Semoga Allah Swt mengampuni kita semua. Amin.
Jogja, 23 Oktober 2019