Amalan Wirid Sunan Ampel Ketika Membuka Pintu Islam Tanah Jawa.
Oleh: KH Achmad Chalwani Nawawi, Pengasuh Pondok Pesantren An-Nawawi, Mursyid Thariqah Qadiriyyah/ Naqsyabandiyyah Berjan Purworejo, Wakil Rais Syuriyah PWNU Jawa Tengah.
Siang ini, saya berterima kasih kepada masyarakat di sini, yang sudah mau mengundang saya untuk ikut mengaji dalam rangka Tahni’atul ‘Ied Ikatan Santri Kebumen (Iktrimen). Semoga terima kasih saya termasuk syukur saya kepada Allah SWT. Nabi bersabda: inna asykaro al-nâsi li Allahi tabâroka wa taâla, asykaruhum li al-nâs; sesungguhnya, orang yang paling bisa bersyukur kepada Allah yaitu orang yang bisa bersyukur kepada sesama manusia. Jika saya bersyukur kepada masyarakat disini, itu artinya saya bersyukur kepada Gusti Allah.
Nama acara kita hari ini adalah Tahni’atul ‘Ied, atau yang masyhur di masyarakat dengan istilah Halal Bihalal. Dahulu pernah ada Halal Bihalal P4SK (Persatuan Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyyah Kaffah) se-Karesidenan Kedu di Watucongol, Muntilan, Magelang. KH Bisri Syansuri yang ketika itu hadir sebagai pembicara, menyarankan agar memakai istilah yang fiqhi, yaitu Tahni’atul ‘Ied. Istilah ini lebih fiqhi, meski menggunakan istilah Halal Bihalal juga tidak masalah. Ini pesan dari Rais Amm PBNU ketika itu, al-marhum al-maghfurlah KH Bisri Syansuri. Tahni’atul ‘Ied dari kata: hanna, yuhanni, tahnian, tahniatan, tahnaan, tihnaan, yang berarti mangayobagyo, ikut bersenang, bersukacita atas hari raya Idul Fitri.
Dahulu, ada tokoh pendidikan internasional, namanya al-marhum Dr. Sudjatmoko, Rektor Universitas Perserikatan Bangsa-Bangsa. Beliau pernah berkata, pada zaman akhir ini, alternatif pendidikan terbaik adalah pondok pesantren, dengan catatan: memakai manageman modern. Secara metode mengaji tetap memakai salafiyah, namun dalam hal tata-kelola menggunakan manageman modern.
Metode salafiyyah tidak boleh ditinggal, karena sangat ampuh. Metode salafiyah punya keyakinan: bahwa ilmu dari guru tidak akan masuk ke hati murid atau santri jika tidak disertai dengan riyadlah, mujahadah, tirakat, lelaku dll. Jika orang punya ilmu tidak di-riyadloi, maka hanya akan berhenti di otak. Dengan metode salafiyah ini, ilmu tidak hanya singgah di otak, namun masuk ke hati. Kalau hanya di otak saja, itu namanya intelektual.
Maka, di pesantren An-Nawawi peninggalan ayah saya, tidak meninggalkan metode salafiyyah, seperti ketika habis shalat, santri membaca wirid tasbih, shalawat, tahlil dan lain-lain, termasuk membaca wirid Sunan Ampel: ya Chayyu ya Qayyum lâ Ilâha Illa Anta 41x. Sunan Ampel Raden Rahmatullah ketika babad (membuka) Tanah Jawa membaca kalimah ini. Jika kita sering membaca kalimah ini, kalimah ya Chayyu, menjadikan kita punya gagasan dan kreasi. Adapun ya Qayyum menjadikan kita mandiri. Selain itu juga membaca: Allahu khafidhu latifun qodimun, qodirun azaliyun chayyun qayyum la yanamu, setelah itu membaca: maulayashol, yarabbibil dan huwal habib. Ini untuk menjaga agar ilmu melekat di hati. Ada juga bacaan Hadzihi dar darullah…, termasuk membaca iyyâka na’budu wa iyyâka nasta’in 41x, serta Laqad jâakum..9x.
Ini namanya metode salafiyah, peninggalan ulama dahulu yang tidak boleh ditingggal. Termasuk juga (metode salafiyyah), Ustadz-ustadz di pesantren tidak berani membaca kitab sebelum hadiah fatihah terlebih dahulu kepada pengarang atau mushannif-nya. (hadiah fatihah kepada) Imam Shonhaji, misalnya, pengarang kitab jurumiyyah, (sebelum memulai pelajaran).
Imam Shonhaji, pengarang kitab jurumiyyah itu ampuh (sakti) dan memiliki karamah. Usai menulis kitab jurumiyyah, kitab itu dibawa ke laut dan dibuang sambil berkata: “jika kitab ini bermanfaat ia tentu akan kembali”. Benar saja, ketika Imam Shonhaji sampai rumah, kitab tersebut sudah tergeletak diatas mejanya. Beda dengan buku-buku sekarang, tanpa dibuang pun akan hilang sendiri karena tidak pernah dibaca.
Demikian Amalan Wirid Sunan Ampel Ketika Membuka Pintu Islam Tanah Jawa, semoga manfaat.
*Petikan ceramah ini disampaikan pada acara Tahni’atul ‘Ied ke-14 Ikatan Santri Kebumen (Iktrimen) Pondok Pesantren An-Nawawi Berjan, Gebang, Purworejo, bersama Masyarakat Binangun, Jatimulyo, Kuwarasan, Kebumen, Jawa Tengah, 11 Agustus 2015/ 26 Syawwal 1436 H. Ceramah dialihtulisankan oleh: Ahmad Naufa Khoirul Faizun, pengelola situs ahmadnaufa.wordpress.com.