Allah SWT Maha Bebas Berbuat Apa Saja

Tak Mungkin Digusur

Oleh Edi AH Iyubenu, wakil ketua LTN PWNU DIY.

Kita memahami suatu perintah dan laranganNya berdasar ajaran-ajaran guru kita, orang tua, para ulama, dan seterusnya, sampai kepada Rasul Saw.

Segala yang diperintahkan Allah Swt kita yakini sebagai kebaikan dan segala yang dilarangNya kita yakini sebagai keburukan. Itulah yang kini kita kenal sebagai syariat Islam.

Ya, kebaikan untuk diri kita sendiri dan keburukan untuk diri kita sendiri pula. Bukan untuk Allah Swt, tentu saja. Sama sekali bukan untuk Allah Swt.

Allah Swt jelas mutlak tak membutuhkan syariat tersebut. Toh Allah Swt lah yang menciptakan kita, plus menetapkan syariat untuk kita jadikan pegangan hidup, bagaimana mungkin Allah Swt lalu kita pandang berkaitan, apalagi terikat, dengan doktrin syariat tersebut? Mustahil.

Inilah KemutlakanNya yang haq. Tiada keraguan sedikit pun terhadapNya.

Syariat diciptakanNya untuk mengatur kehidupan kita di dunia. Dalam istilah al-Qur’an, disebut “untuk menguji kalian terhadap apa-apa yang telah didatangkan kepada kalian” dan “untuk menguji kalian siapakah yang paling baik amalnya”, sehingga finalnya dikatakan “sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian ialah orang yang bertakwa”.

Syariat itu tak semuanya bisa kita nalar dan pahami dengan clearlingkup dan tujuannya. Sebagian besar lainnya bisa kita rasionalisasi dengan benderang. Mau bisa kita pahami atau tidak secara rasional, tiada sikap lain bagi seorang mukmin dan muslim selain semata mematuhinya. Apa pun!

Itulah yang disebut hanifan musliman oleh al-Qur’an. Lurus dan pasrah. Dalam istilah lain disebut insan kamil, manusia yang sempurna.

Jadi, kesempurnaan kita sebagai manusia sejatinya beriring dengan semakin lurus dan pasrahnya kita kepadaNya. Ia meliputi keimanan, pula kepatuhan, batiniah dan lahiriah.

Ketika diperintahNya salat, ya salat saja. Puasa, ya puasa saja. Haji, ya haji saja bagi yang mampu. Sedekah, ya sedekah saja. Berbuat baik pada orang tua, ya lakukan saja. Berdoa, ya berosa saja meski Allah Swt jelas tahu isi hati kita. Syiar agama dengan hikmah, ya syiarkanlah dengan hikmah. Menikah, ya menikahlah. Bertafakur, ya tafakur sajalah. Dan sebagainya. Begitupun dengan segala bentuk laranganNya, baik yang terang secara teks dalil maupun berdasar ijma’ ulama hingga moral etis kemanusiaan universal.

Umpama lantas ada kejadian yang kita hadapi atau saksikan, yang nampak ganjil dari sudut bunyi teks syariat (ayat al-Qur’an dan hadis Rasul Saw) dan menyelisihi pemahaman rasional kita, seyogianya hal tersebut tak perlu membuat iman dan takwa kita gamang kepadaNya. Ini mestinya selesai saja kekafahan iman terahdap KemahakuasaanNya. Kita lazim menisbatkanya dengan ketawakalan.

Sikap rohani sejenis seyogianya juga berlaku sebaliknya, yakni ketika ada orang lain yang menurut pemahaman syariat kita, bahkan bunyi tekstual dalil itu sendiri, tak selaras antara janjiNya dengan kenyataannya.

Ayat tentang keutamaan sedekah yang dijanjikanNya akan dibalas dengan limpahan rezeki berkali-kali lipat, bahkan tak terbatas, tersedia banyak dalam al-Qur’an. Umapama Anda bersedekah, tetapi rezeki Anda tak kunjung merusah, apa gerangan yang Anda rasakan dan pikirkan?

Jika Anda menjadi sangsi kepada kebenaran janji Allah Swt dalam al-Qur’an, ini alarm merah bagi kekokohan iman haqdi hati. Waspadalah! Jika Anda kemudian memutuskan berhenti melakukan sedekah karena kondisi rezeki Anda malah terasa makin berat, bukan jembar, ini pun masalah serius bagi hanifan musliman Anda.

Hal demikian seyogianya selesai mudah dengan merujuk iman mutlak semata kepada Kemahakuasaan Allah Swt untuk menetapkan, memutuskan, dan menterjadikan apa pun sesuai mauNya belaka. Tanpa perlu dipaksa rasional dengan mengait-ngaitkan dengan bunyi teks dalil syariat, apalagi sekadar pemahaman kita.

Apalagi Allah Swt juga telah terang memperoklamirkansisi lain KemahakuasaanNya terkait sedekah ini dalam al-Qur’an, “Allah Swt lah yang akan meluaskan rezeki kepada siapa yang dikehendakiNya dari hamba-hambaNya dan juga akan menyempitkanNya. Sesungguhnya Allah Swt Maha Mengetahui atas segala sesuatu.

Mengapa kita justru cenderung hendak mengekang Allah Swt dengan doktrin syariat? Dengan pemahaman kita dan kelompok kita? Mengapa Allah Swt justru hendak kita “rendahkan” begitu rupa agar “meyesuaikan diri” dengan pemahaman kita? Siapalah kita yang manusiawi fana, makhluk, di hadapanNya yang Absolut Sang Khaliq?

Ingat lagi-lagi diktum absolut ini: Allah Swt adalah Tuhan Yang Maha Kuasa; Dia Swt menciptakan dan menetapkan syariat Islam kepada kita untuk kita patuhi; maka ketika keputusan Allah Swt selaras betul dengan bunyi teks-teks nash, itulah buktiNya dalam memenuhi janji-janjiNya, tetapi hendaknya juga diterima dengan mutlak tatkala Dia Swt menetapkan hal yang tak begitu rupa, sebagai bukti bagi KemahakuasaanNya Yang Maha Bebas.

Mari renungkan surat al-An’am ayat 17-18 ini: “Dan jika Allah Swt hendak menimpakan suatu kemadharatan kepadamu, maka tidak ada yang bisa menghilangkannya kecuali Dia Swt sendiri. Dan jika Dia Swt hendak mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dan Dia lah Yang Maha Kuasa atas hamba-hambaNya. Dan Dia lah Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui.

Meyakini Kemahakuasaan Allah Swt sebagai puncak segalanya, melampaui apa saja, termasuk bunyi teks dalil dan pemahaman kita, adalah perkara kehakikian tauhid. Ia merupakan fondasi hakiki keimanan kita. Seyogianya, jika kita sungguh-sungguh mengikrarkan diri sebagai hanifan musliman, apa pun kejadian yang lalu ditetapkanNya, mau sesuai atau tidak dengan bunyi teks dalil dan pemahaman kita, sangat mudah bagi kita untuk memahami dan menerimanya.

Jika kita merasakan sebaliknya, seperti pikiran ganjil, aneh, dan tak masuk akal, mari bersegera kembali kepada kehakikian tauhid kepadaNya, bahwa bukanlah Allah Swt yang mesti “menyesuaikan diri” dengan nalar kita, toh Dia Swt lah Sang Khaliq, Yang Maha Kuasa, dan Maha Bebas Berkehendak, tetapi kita lah yang mesti merujuk segera dan selalu kepada dimensi absolutNya tersebut.

Jika pinsip kehakikian tauhid ini bisa kita jalankan dengan istiqamah, insya Allah hidup ini beserta segala realitasnya akan terpandang sederhana belaka di mata pikiran dan hati kita. Mau selaras atau tidak, mau dikabul di dunia ini atau tidak, kita akan istiqamah saja menjalankan syariatNya.

Selesai.

Wallahu a’lam bish shawab.

Jogja, 27 Oktober 2019

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *