Adakah Pengganti Haji, Apa Dalilnya?
Rasulullah SAW bersabda: Islam ditegakkan di atas 5 pilar (rukun) – (1) Percaya tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan-Nya; (2) Mendirikan Shalat; (3) Mengeluarkan zakat; (4) Puasa di bulan suci Ramadhan; dan (5) Haji ke Baitullah.
Haji wajib bagi siapa saja yang mampu (mampu dalam perjalanannya, cukup bekal hidup di sana, dan cukup pula bagi keluarga yang ditinggalkannya – selama kurang lebih 40 hari). Disamping ada kendaraan yang melayaninya, layak dipakai mengantar sampai tujuan, serta aman sepanjang menempuh perjalanan.
Haji merupakan rukun Islam yang kelima – atau yang terakhir. Tentunya akan terasa nyaman dan nikmat, jika seseorang dapat menunaikan haji setelah syahadatnya (imannya) mantap; shalatnya sudah tertib – syukur sudah sampai tingkatan khusyu’; kesadaran berpuasanya sudah begitu tinggi – sehingga ia amalkan juga puasa-puasa sunnat; dan ia seorang dermawan, karena disamping membayar zakat, ia juga yang oleh masyarakat diberikan predikat ahli sedekah, infaq, wakaf, hibah, dan lain-lain.
Bagi orang Saudi Arabia, kendaraan bukan masalah prinsip. Kesehatan badanlah yang sangat diperlukan untuk menunaikan ibadah haji. Tetapi bagi orang Indonesia, disamping sehat, kendaraan harus layak pula. Umumnya bagi warga NU yang berstrata ekonomi rendah, haji merupakan rukun Islam yang paling berat ditunaikan, ibadah yang paling didambakan, dan dapat mengangkat prestise mereka di tengah komunitas warga kampung. Tak berlebihan jika ada istilah haji “wahyu” sebab sawahnya payu (laku); “abidin” (atas biaya dinas), atau “pilas” (sapinya bablas/laku dijual). Semua itu menggambarkan betapa ibadah haji dapat membuat seseorang tersugesti untuk mengorbankan apa saja, yang penting sampai Mekkah dan menyaksikan Ka’bah yang agung, dapat thawaf mengelilingi Ka’bah, Sa’i antara Shofa dan Marwah, minum air zamzam, dan dapat ke Madinah, ziarah ke makam Rasulullah SAW.
Adakah Pengganti Haji, Apa Dalilnya?
Lebih dari itu, mungkin di sinilah sebenarnya ukuran ketakwaan dan kecintaan seseorang pada agamanya. Sampai ada juga yang telah menabung 20 tahun, 30 tahun, bahkan ada yang sampai 60 tahun, baru ada kesempatan berangkat. Orang NU biasanya tidak dapat menabung banyak-banyak, dan biasanya mereka menabung di bawah kasur, atau di tiang dapur. Meski inflasi bertambah setiap tahun, mereka tidak/belum pernah memikirkan bahwa sekarang sudah ada Bank Syari’ah. Di kemudian hari, ia berpesan: kalau saya sudah tidak mampu haji karena umur, tolong tabunganku dititipkan untuk ongkos hajiku. Inilah haji amanat, atau badal haji itu – melakukan ibadah haji, yang pahalanya untuk orang lain.
Hanya saja pesan saya, carilah orang yang sudah pernah berhaji. Sebab tidak sah hukumnya jika ada orang belum haji, menghajikan orang lain. Untuk ini Anda harus benar-benar yakin, dan kenal. Kalau tidak yakin, atau tidak kenal, lebih baik ganti orang. Kecuali Anda sendiri yang pernah haji, dan sekarang berangkat lagi, haji yang sekarang diniati untuk haji ayahanda.
Adakah Pengganti Haji, Apa Dalilnya?
Soal harga, sangat berfariasi. Tetapi pesan saya jangan tertarik dengan harga murah. Sebab harga murah cenderung hanya melakukan rukun-rukun hajinya saja. Sunnat-sunnatnya diabaikan. Oleh karena itu sebelum uang dibayarkan, atau persekot diserahkan, harus ada perjanjian – Anda siapa, alamatnya mana, orang asli mana, pernah haji tahun berapa, dan lain-lain, sampai ke masalah ibadah haji yang rinci – di Muzdalifah, di Mina, melempar Jumrah, nafar awal/tsani, thawaf ifadhah, dan lain-lain. sesudah Anda minta kejelasannya, berikan uang persekot, sebagai tanda jadi. Sebab yang sering terjadi, “sertifikat” Badal Haji diserahkan dari yang bersangkutan – uang pelunasan dibayarkan – dia hilang kemana ia arahnya – tak tahu rimbanya. Padahal yang ia lakukan asal sah hajinya, sebab yang dilakukan hanya rukun-rukunnya saja.
Lebih baik Anda mencari “mukimin” – mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang kuliah di Saudi Arabia – mereka yang sudah pernah haji, lalu dimintai tolong untung bertransaksi “badal haji” – barangkali sama-sama diuntungkan. Si Mahasiswa dapat tambahan “rezki”, dan Anda tidak sulit untuk berkomunikasi. Atau – siapa tahu malah menjadi “anak menantu” di kemudian hari. Klop kan??
Haji amanat ada dalilnya; yang pertama:
عن ابن عباس رضي الله أن امرأة سألت النبي صلى الله عليه وسلم عن أبيها مات ولن يحج أفأحج عنه؟ قال:أرأيت لو كان على أبيك دين أكنت قاضية ؟ قالت : نعم . قال : فدين الله أحق . رواه النسا ئ
(Ibnu Abbas RA meriwayatkan: Ada seorang perempuan bertanya kepada Rasulullah SAW tentang ayahnya yang meninggal dunia dan belum menunaikan haji, apakah saya harus menghajikannya? Rasul pun menjawab: Jika ayahmu punya hutang tidak sukakah engkau melunasinya? Di jawabnya: Ya. Kemudian Rasul melanjutkan: justru hutang kepada Allah lebih berhak untuk dilunasinya). HR Nasa-i.
Dalil kedua:
عن لقيط ابن عامر رضي الله عنه أنه أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال : إن أبي شيخ كبير لا يستطيع الحج ولا العمرة ولا الظعن قال : حج عن أبيك واعتمر . رواه أبو داود والترمذي حسن صحيح
(Dari Luqaith bin Amir, ia pernah datang kepada Nabi dan menyampaikan: Ayahku sudah tua, ia tidak mampu berangkat haji atau umrah? Jawab Rasul: Berhaji dan berumrahlah engkau untuk ayahmu). HR Abu Dawud, Tirmidzi. Hadis Hasan Shahih.
Dalil ketiga:
فإن تحققت الشروط ولم يفعل حتى مات وجب فورا الإنابة عنه من تركته كما تقضي منها ديونه فإن لم يكن تركة سن لوارثه أن يفعله عنه ولو فعله عنه أجنبي جاز .
(Kalau syarat sudah terpenuhi, tetapi belum berangkat haji karena keburu meninggal, maka ia wajib dihajikan secepatnya. Dengan begitu ia telah melunasi hutangnya. Kalau ia tidak punya tabungan, disunnahkan warisannya digunakan menghajikannya, namun apabila ada orang lain mau menghajikannya, itu diperkenankan juga.) Baca Tanwirul Qulub, hal 233.
Penulis: KH. Munawir AF, Mustasyar PWNU DIY
Demikian Adakah Pengganti Haji, Apa Dalilnya?. Semoga bermanfaat.