Ceramah agama di dalam NKRI tentu wajib mengedepankan adab dan narasi yang mencerdaskan (tidak malah membangkitkan fanatisme pendengar untuk mencela, merendahkan ajaran agama selain Islam).
Karenanya, perlu sertifikasi ke-ilmuan dan adab bagi setiap mubaligh yang akan berceramah Di ruang Publik, sehingga dapat terpilih Mubaligh yang alim (minimal menguasai funun 12), juga memiliki adab dan toleransi tinggi, untuk mencerdaskan sekaligus mencegah ketersinggungan dengan kelompok Islam lainnya serta pemeluk agama selain Islam.
Mubaligh yang alim dan adabnya tinggi akan bijak dalam menjelaskan ayat-ayat terkait agama lain semisal: (QS: al-An’am: 108) yang bagi orang-orang non-muslim merupakan suatu klaim yang menyalahkan ajaran agama mereka. Mereka pasti menolak ketika oleh al-Qur’an dikatakan, “tidak menyembah Allah dan mereka akan mencaci Allah tanpa Ilmu. Semua penolakan akan terjadi ketika orang-orang selain Islam tadi menyimak”.
Karenanya perlu adab dan Ilmu yang memadai, setidaknya menjauhkan mereka dari “Tersalah dalam Fiqih”, (tidak ada lagi Muballigh yang menyatakan kotoran kucing itu tidak Najis), juga tidak muncul narasi bahwa pada kalung aalib itu ada jin, sebab seorang alim pasti tau bahwa yang paling banyak jin justru di dalam diri manusia ahli maksiat (pezina, pencaci penguasa yang tidak dzalim, penuduh bid’ah dan kafir wal syirik, koruptor, dan lain sebagainya). Kenapa demikian?
Seorang alim tentu paham bahwa perintah Rasulullah SAW kepada Adiy bin Hatim untuk membuang kalung salib bukan karena ada jin nya tetapi sebab keingkaran para pendeta (saat itu), yang menolak kebenaran juga mengklaim kebenaran untuk perkara yang salah.
Seorang yang alim dan bijak meski saat membahas “man kaffara musliman faqad kaffara “, akan mampu menjelaskan kepada pendengarnya di ruang publik (medsos), secara cerdas dan jauh dari narasi menghina.
Sudah seharusnya para mubaligh terkenal itu meneladani dakwah yang sejuk dan mencerdaskan semisal: Almaghfurllahu Gus Dur, KH. Maimoen Zubeir , KH Mustofa Bisri, Prof.DR. Quraish Shihab, dan yang lain. Sehingga dakwah lewat TV, Internet tetap mampu membangun kondusivitas berbasis : “lakum adyaanukum wa lana diinuna“.
Semoga bermanfaat
Penulis: Fariq Nur Rokhim