Muhammad Nauruzzaman. Kawan-kawannya biasa memanggilnya Zaman. Pemuda ini punya jabatan strategis di PP GP Ansor, salah seorang ketua. Karirnya dimulai dari pengurus IPNU dan GP Ansor di Cirebon. Latar belakang intelektualnya komplit: pesantren dan perguruan tinggi. Perkenalannya dengan banyak tokoh nasional cukup kompleks hingga membawanya kini pada jabatan penting, yakni Komandan Densus 99 Anti-Terorisme, organ GP Ansor.
Belakangan beritanya viral terkait pengunduran dirinya dari jabatan Wasekjen Gerindra. Praktik mundur dari sebuah parpol sejatinya bukan hal aneh dalam dunia politik. Namun manuver Zaman ini dianggap seru –setidaknya di kalangan Nahdliyyin– karena alasan pengunduran dirinya yang melibatkan emosi kesantrian. Ia mengaku kecewa dengan komen pentolan Gerindra yang merendahkan Gus Yahya –guru dan seniornya– ihwal kunjungan kontroversialnya ke Israel.
Bagi banyak orang, alasan semacam itu adalah hal sederhana, tapi bagi Zaman tentu sangat serius. Zaman adalah khas politisi santri yang sangat hormat pada kyainya.
Sekedar informasi, berpolitik bagi santri adalah bagian dari ihtiar mewujudkan nilai-nilai perjuangan menggapai kemaslahatan bersama. Walaupun kekuasaan penting, tetapi bagaimana dan untuk apa mencapainya adalah jauh lebih penting. Parpol boleh saja haus akan kekuasaan, tapi memburunya harus dengan kepatuhan dan kepatutan atas dasar norma etik dan politik sekaligus.
Kang Zaman mungkin sedang dalam kesadaran penuh akan prinsip ini sehingga ia tidak mau larut dalam perebutan kekuasaan kotor yang mencederai norma-norma kebhinekaan akibat tersandera politik identitas. Karena itulah dia tegas memutuskan keluar dari Gerindra.
Kepergiannya boleh jadi akan melapangkan jalan partai dalam terus mengumpulkan dukungan suara kelompok anti-demokrasi sebagaimana sudah ditempuhnya hari-hari ini. Tapi, pesan Kang Zaman jelas bahwa jalan itu sebetulnya mengingkari jati diri Gerindra dan Pak Prabowo sendiri. Apa dampaknya ? Sejarah akan memberi jawabannya. Wallahu a’lam bish-shawab.
(Penulis: Abu Isma)