Untuk orang seperti saya, yang tak sepenuhnya mengenal dunia musafir, bertemu dengan sosok seperti Pak Hariadi (67) membuat hati gentar. Dia sudah ada di kompleks pasujudan dan petilasan Sunan Bonan, hampir dua tahun. Sudah dua lebaran, laki-laki dari Selong, Lombok Timur ini, tidak pulang.
Sejak muda, Hariadi sudah gemar berkelana. Musafir baginya, adalah sebuah laku spiritual. “Untuk mendekatkan diri kepada Tuhan,” ucapnya pelan. Logat Lomboknya masih kental. Dia pernah berjalan kaki dari Lombok sampai Aceh, lalu balik lagi, dan untuk menempuh perjalanan itu, dibutuhkan waktu kurang-lebih empat tahun. Tentu saja, dia singgah di tempat-tempat di mana hatinya merasa tertarik untuk singgah. Nenepi, dalam istilah Jawa. Menepi dari hiruk-pikuk dunia, mengurus hati. Hal penting dalam diri manusia yang jarang diurusi.
Sebetulnya rasa gawok saya kepada Pak Hariadi bukan lamanya dia tinggal di sebuah tempat, sebab ada laki-laki yang mungkin belum berusia 40 tahun, sudah lebih dari 4 tahun ziarah di tempat ini. Di kompleks makam Panembahan Senopati, bahkan saya pernah bersua orang yang sudah 9 tahun lamanya ziarah di sana. Yang saya heran (campur takjub) karena Pak Hariadi mengajak Ardi yang berusia kurang dari 3 tahun.
Ardi baru bisa berjalan ketika diajak bapaknya ke sini. Dan sudah beberapa bulan ini, Ardi diajak berjalan kaki dari pasujudan Sunan Bonang ke Lasem, kadang juga ke Rembang, dengan berjalan kaki. Pagi berangkat, sore pulang. Jarak Pasujudan ini ke Lasem mungkin 4 atau 5 km. Jarak ke Rembang, sekira 17 km. “Dia seperti saya, suka berjalan. Semoga menjadi musafir seperti saya.” Suara Hariadi ditingkapi angin dan aroma laut.
Saya sulit mengerti, seorang anak berusia belum tiga tahun, sudah berjalan kaki jauh sekali, dan tinggal selama hampir dua tahun, di sebuah tempat seperti ini. Dan dia tampak ceria, sebagaimana lazimnya anak seusianya.
Penulis: Puthut Ea, sastrawan dan budayawan.