Waktu Utama Tadarus Al-Quran di Bulan Ramadan
Waktu Utama Tadarus Al-Quran. Waktu membaca Al-Qur’an diperbolehkan di dalam waktu apapun. Tapi ada waktu yang lebih utama membaca Al-Qur’an dibanding dengan waktu-waktu biasa dalam kitab al-Adzkar syaikh An-Nawawi menerangkan “Adapun waktu utama baca Al-Qur’an di luar shalat ialah:
*Paruh kedua malam lebih utama dibanding paruh pertama.
*Disunahkan juga membacanya ketika selang waktu maghrib dan isya’.
*Sementara waktu siang, yang dianjurkan ialah ketika usai shalat subuh. Pada prinsipnya, kapan pun baca Al-Qur’an diperbolehkan.
*Tidak ada kemakruhan untuk baca Al-Quran kapan saja. Bahkan baca Al-Qur’an di waktu yang dimakruhkan shalat sekali pun tetap diperbolehkan”
Dari penjelasan ini dapat diambil kesimpulan bahwa:
*Perpindahan waktu setelah terbenamnya matahari hingga isya’ adalah waktu yang utama untuk membaca Al-Qur’an.
*Kemudian waktu sholat isya’ di pertengahan akhir juga waktu yang utama untuk membaca Al-Qur’an.
* Terahir waktu setelah sholat subuh juga menjadi waktu utama ketika membaca Al-Qur’an. Waktu-waktu ini juga waktu yang bagus untuk bertadarus. (Kholid)
Sebagai tambahan selain Waktu Utama Tadarus Al-Quran kami sertakan pula penjelasan khussu terkait Kisah Malam Lailatul Qadar Para Sahabat Nabi. Rasulullah lupa kapan beliau pernah dipertemukan dengan lailatul qadar.
إِنِّي أُرِيتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ ثُمَّ أُنْسِيتُهَا (أَوْ نُسِّيتُهَا) فَالْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ فِي الْوَتْرِ
“Aku pernah dipertemukan dengan lailatul qadar, hanya saja aku lupa kapan peristiwa itu terjadi. Tapi, cobalah kalian mencarinya pada bilangan ganjil sepuluh hari terakhir,” (HR Imam Bukhari dari Abu Sa’d).
Para sahabat juga pernah mengalami peristiwa lailatul qadar pada waktu yang berbeda-beda. Sebagian mengaku diperjumpakan dengan lailatul qadar pada tujuh hari terakhir Ramadhan dan sebagian yang lain mengaku pada sepuluh hari terakhir. Kabar itu kemudian sampai kepada Rasul. Rasul lalu menyimpulkan, seraya menganjurkan kepada orang-orang yang belum pernah diperjumpakan dengan lailatul qadar, “Coba kalian mencarinya pada tujuh hari terakhir Ramadhan,” (HR Imam Bukhari dari Ibnu Umar).
Teks hadisnya:
عن ابن عمر رضي الله عنه: أَنَّ أُنَاسًا أُرُوا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ وَأَنَّ أُنَاسًا أُرُوا أَنَّهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْتَمِسُوهَا فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ
Dua pernyataan berbeda dari Rasul itu diriwayatkan dua sahabat berbeda, yang pertama oleh sahabat Abu Sa‘id dan yang kedua oleh sahabat Ibnu Umar. Keduanya riwayat Imam Bukhari dalam Shahih al-Bukhari.
Karena dua riwayat di atas sama-sama berstatus sahih maka perbedaan sabda Rasul tersebut bukan perbedaan-kontradiktif, bukan perbedaan yang saling menafikan, melainkan perbedaan-variatif, perbedaan yang memperkaya pemaknaan dan pemahaman, yang mengisyaratkan bahwa lailatul qadar adalah tema yang luwes, multi tafsir.
Jika dalam teks sumber utama saja sudah terjadi perbedaan, perbedaan pendapat yang lebih variatif terjadi di kalangan ulama. Di Fath al-Bari (kitab syarah Shahih al-Bukhari), Ibnu Hajar al-Asqalani mencatat ada lebih dari empat puluh (tercatat: empat puluh enam) pendapat soal “tanggal main” lailatul qadar. Berikut saya sebutkan beberapa di antaranya:
> Lailatul qadar dapat terjadi pada semua bulan, bukan hanya Ramadhan. Pendapat ini populer dalam Mazhab Hanafi.
> Lailatul qadar dapat terjadi pada semua malam pada bulan Ramadhan. Ini pendapat Ibnu Umar.
> Ada yang menyebut, lailatul qadar terjadi pada awal Ramadhan.
> Lailatul qadar terjadi pada sepertiga kedua Ramadhan. Pendapat ini dianut oleh sebagian penganut Mazhab Syafi’i.
> Lailatul qadar terjadi pada sepertiga pertama Ramadhan. Ini menjadi kecenderungan pendapat Imam Syafi’i.
> Lailatul qadar terjadi pada malam kedua puluh tujuh Ramadhan. Ini beredar di kalangan Mazhab Ahmad.
> Lailatul qadar terjadi pada bilangan witir sepuluh hari terakhir Ramadhan, dengan dukungan hadis riwayat Imam Bukhari dari Abu Sa’id di atas.
> Lailatul qadar terjadi pada kisaran tujuh hari terakhir Ramadhan, berdasarkan hadis riwayat Imam Bukhari dari Ibnu Umar di atas.
(Selebihnya, Anda bisa cek sendiri di Fath al-Bari)
Perbedaan pendapat soal lailatul qadar di antara Rasul, para sahabat, dan para ulama, menurut saya menunjukkan bahwa lailatul qadar pada dasarnya adalah pengalaman jiwa yang sangat pribadi. Karenanya, orang bisa mengalaminya pada saat yang berbeda-beda. Jika kemudian Rasul menyimpulkan, lailatul qadar terjadi pada sepuluh atau tujuh hari terakhir Ramadhan, seperti dalam hadis di atas, itu adalah berdasarkan pengalaman pribadi beliau dan pengalaman sebagian sahabat yang secara kebetulan terjadi pada kisaran waktu-waktu tersebut.
Bahkan, Ibnu al-Arabi, seorang ulama bermazhab fikih Maliki, murid Imam al-Ghazali, (bukan Ibnu Arabi [tanpa “al”] yang terkenal dengan konsep wihdah al-wujud) sampai pada kesimpulan, “al-shahih annaha la tu’lamu”. Yang tepat, menurutnya, lailatul qadar tidak dapat diketahui berdasarkan waktu tertentu. Meski pendapat tersebut dibantah oleh Imam al-Nawawi, namun pernyataan Ibnu al-Arabi tetap layak sebagai pendapat alternatif.
(Dari ragam pendapat tentang waktu lailatul qadar di atas, Ibnu Hajar lebih memilih bahwa waktu lailatul qadar adalah sepuluh hari terakhir Ramadan).
Jadi, apa hikmah atau nilai yang dapat diambil dari keragaman pendapat tentang waktu lailatul qadar di atas—dalam hadis dan pendapat para ulama salaf?
Yaitu, seseorang tak perlu terobsesi dengan waktu dalam rangka mengejar mendapatkan lailatul qadar. Tapi, persiapkan diri, bersihkan jiwa, sebab, lailatul qadar hadir dalam jiwa tanpa ikatan waktu dan tempat tertentu. Dengan rahmat Allah, kapan pun dan di mana pun, seseorang dapat meraih spirit dan kebaikan lailatul qadar. Dan yang penting diketahui, lailatul qadar adalah rahasia Tuhan.
Keagungan Tak Terjangkau Nalar
Ya, lailatul qadar adalah rahasia Tuhan. Tak ada yang dapat memastikan. Allah dan Rasul memang memberikan informasi kebenaran lailatul qadar, tapi keduanya tidak memberikan kepastian tentang lailatul qadar. Inilah rahasia di balik diksi yang dipilih Allah dalam surah al-Qadr: wa ma adraka ma lailatul qadr. Tahukah kau apakah lailatul qadar itu?
Para pakar tafsir, seperti Imam al-Syaukani dalam karya tafsirnya Fath al-Qadir, menyebutkan, kata “ma adraka” adalah bentuk pertanyaan (istifham) untuk menunjukkan bahwa yang menjadi objek pertanyaan adalah sesuatu yang sulit dijangkau hakikatnya secara sempurna oleh nalar manusia.
Contoh ayat lain yang menggunakan redaksi “ma adraka” adalah tentang hari kiamat dalam surah al-Infithar ayat 17: wa ma adraka ma yaumuddin? (Tahukah kau apa hari pembalasan itu?) atau surah al-Qari’ah ayat 3: wa ma adraka ma al-qari’ah? (Tahukah kau apa hari kiamat itu?). Berdasarkan ayat Al-Quran, kita tahu kebenaran “hari pembalasan” dan “hari kiamat”. Namun, hanya sebatas bahwa ia benar adanya, sedangkan hakikat “hari pembalasan” dan “hari kiamat” hanya Allah Yang Maha Mengetahui.
Demikian juga dengan lailatul qadar. Kita hanya sebatas tahu akan kebenarannya, sedangkan tentang hakikatnya dan siapa yang berhak memperolehnya adalah rahasia Allah. Bahkan, saking rahasianya, barangkali seseorang takkan pernah tahu jika dirinya pernah mengalami atau menjumpai lailatul qadar. Bahkan, saking rahasianya lailatul qadar itu, Rasulullah sendiri dibuat lupa oleh Allah, kapan tepatnya beliau pernah dipertemukan dengan lailatul qadar. Tentu ada hikmah, kenapa Rasulullah dibuat lupa kapan beliau pernah dipertemukan dengan lailatul qadar.
Bukan Tujuan Utama
Kisah malam lailatul qadar. Allah memberikan beberapa keistimewaan kepada lailatul qadar ini, antara lain ia lebih baik daripada seribu bulan. Artinya, amal ibadah seorang hamba yang dikerjakan bertepatan dengan pengalaman lailatul qadar dihitung lebih baik daripada amal yang dikerjakan selama pengalaman hidup seribu bulan yang tanpa lailatul qadar.
Namun, angka “seribu bulan” yang dimaksud bukanlah angka pasti, melainkan simbol untuk menjelaskan bahwa amal apa pun yang dikerjakan tepat pada pengalaman lailatul qadar memiliki keistimewaan tak terhingga. Angka itu juga lebih bersifat kualitatif: kata “seribu” menggambarkan hampir tak terbatasnya kemungkinan pemaknaan di baliknya.
Keistimewaan kisah malam lailatul qadar lain adalah seperti dijanjikan Rasul,
من صام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه، ومن قام ليلة القدر إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
“Orang yang berpuasa Ramadan karena beriman dan berharap pahala dan rida Allah, ia diampuni dosanya yang telah lewat (dilakukan). Dan orang yang menghidupkan malam lailatul qadar dengan ibadah (atau: orang yang menjalankan ketaatan pada malam lailatul qadar) maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu,” (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
(Catatan: I’rob kata “lailatul qadar” dalam teks hadis di atas bisa jadi maf’ul bih, bisa juga jadi ma’ful fih atau dzorof zaman).
Penting di sampaikan di sini, tiap kali Allah dan Rasul menganjurkan umat melaksanakan ibadah-ibadah atau amalan-amalan, hampir selalu dibarengi dengan “iming-iming” keuntungan ukhrawi, dengan harapan mereka terdorong melaksanakan anjuran tersebut.
Begitu pula dengan lailatul qadar dengan berbagai keistimewaannya. Lailatul qadar ibarat “bonus” beribadah kepada Allah agar umat semakin giat dalam menjalankan ibadah. Sebagai bonus, tentu saja ia bukan tujuan, tapi yang menjadi tujuan adalah penghambaan, kepatuhan, dan rahmat kepada Tuhan. “Bonus” tak perlu dicari; ia datang sendiri. “Bonus” akan malu kepada dirinya sendiri jika tak mendatangi orang-orang yang berfokus kepada tujuan.
Bukankah penghambaan tertinggi kepada Tuhan adalah yang didasari oleh kesadaran diri sebagai makhluk serta kesadaran akan rahmat-Tuhan yang tak terhingga, dan bukan penghambaan yang didasari atas “bonus” pahala atau takut akan dosa, atau yang didasari “iming-iming” surga atau takut akan neraka—meski pun itu tidak salah?!
Wallahu a’lam.
Demikian Waktu Utama Tadarus Al-Quran dan Kisah Malam Lailatul Qadar Para Sahabat Nabi. Semoga bermanfaat.
Penulis: Juman Rofarif, penikmat kajian keislaman.