Ijma’ ulama sepakat bahwa riba adalah haram,karena masuk dalam kategori hukum yang diketahui secara pasti dalam agama (ma’lumatun minad diin bid dhoruroh), menghalalkannya bisa jatuh kafir, lantas bagaimana dengan mereka yang tidak mampu lalu meminjam uang kepada rentenir sementara kondisinya ketika itu sangat membutuhkan dan tidak ada orang lain yang ingin memberi pinjaman kepadanya selain rentenir itu.
Apakah si peminjam terkena dosa riba? Dalam hal ini, Syaikh Zainuddin Al-Malibary mengutip dua pendapat:
قال شيخنا إبن زياد لا يندفع إثم عطاء الربا عند الاقتراض للضرورة بحيث إنه إن لم يعط الربا لا يحصل له القرض إذ له طريق إلى إعطاء الزائد بطريق النذر او التمليك لا سيما إذ قلنا النذر لا يحتاج إلى قبول لفظا على المعتمد وقال شيخنا يندفع الإثم للضرورة
Guru kita Ibnu Ziyad:
Tidak terlepas dosa memberikan riba ketika berhutang karena dharurat, sebagainya bila tidak memberi riba maka ia tidak akan mendapatkan hutang. Karena masih ada jalan baginya memberikan tambahan tersebut, yaitu dengan jalan nazar dan tamlik, apalagi ketika kami mengatakan: “Nazar tidak butuh kepada qobul secara lafazh.” Menurut qoul mu’tamad, guru kita mengatakan: dosa riba terlepas karena dharurat.
Dari sini ada kesimpulan:
- Menurut Imam Ibnu Ziyad, siapapun yang terjerat dalam riba tetap berdosa sekalipun karena dharurat menurut qoul mu’tamad (qoul yang bisa dijadikan pegangan)
- Menurut gurunya Syaikh Zainuddin tidak berdosa lantaran sebab dharurat.
- Ketika Syaikh Zainuddin Al-Malibari menyebutkan kata ” شيخنا ” secara mutlak, maka yang dikehendaki adalah Imam Ibnu Hajar Al-Haitami pensyarah kitab Minhajut tholibin yang beliau beri judul “tuhfatul muhtaj”, sementara guru beliau sendiri bernama Syaikhul Islam Zakaria Al-Anshori pengarang mukhtashor minhajut tholibin yang diberi judul “Manhajut Thullab”. Imam Ibnu Hajar Al-Haitami adalah mujtahid fatwa mazhab Syafiiyyah bersama Imam Romli pengarang kitab Nihayatul Muhtaj syarah Minhajut Tholibin.
- Walaupun qoul mu’tamad mengatakan berdosa, Syaikh Ibnu Ziyad memberikan alternatif agar bisa terbebas dari dosa riba, yaitu dengan cara Tamlik (serah terima tanpa syarat) atau dengan cara nadzar, lebih lebih dalam mazhab kita tidak diisyaratkan adanya qobul dalam nazar.
- Kata ” لا سيما ” adalah uslub yang banyak digunakan oleh orang arab dan berfungsi untuk mengutamakan hukum kalimat setelahnya atas kalimat sebelum nya. Laa nya adalah laa nafi jinsi, Siyya adalah isimnya laa yang manshub dengan fathah zhohiroh, sedangkan maa adalah isim maushul yang mabni atas sukun dan mahal jer karena menjadi mudhof ilaih. Wallahu A’lam.
Referensi: Fathul Muin Al-Malibari Hal 110, penerbit Darul Kutub Ilmiyah.
(Penulis: Muhammad Alfatih Sukardi, alumnus Pesantren Al-Anwar Sarang)