Bedah buku yang berlangsung pada Senin (14/1) merupakan bagian dari rangkaian haul Almaghfurlah KH Ali Maksum ke-30. Bedah buku bertajuk Mengenang Mbah Ali Maksum ini dihadiri oleh para alumni dan santri yang sangat antusias dan merindu akan kisah sosok kiai humanis.
Hadir sebagai pembicara, KH Henri Sutopo (Krapyak), KH Haidar Idris (Wonosobo), serta KH Habib Syakur (Bantul), dengan dua buku yang dibedah yakni, Catatan Seorang Santri karya KH Henry Sutopo dan Pak Ali dalam Facebook” karya KH Munawwir Abdul Fatah.
Dalam sambutan KH Hilmy Muhammad menyampaikan bahwa kegiatan tersebut untuk menghadirkan ruh sosok Mbah Ali dalam mengasuh pesantren, masyarakat, dan membina Nahdlatul Ulama. “Kita berharap keteladanan Mbah Ali dapat diteruskan oleh santri saat ini dengan mengambil hikmah dari cerita-cerita para alumni,” ujarnya.
Nyai Hj Ida Rufaidah, putri bungsu dari KH Ali Maksum pun turut memberikan sambutannya diiringi tangis haru mengenang ayahanda dalam mendidik dan membersamai keluarga di kesehariannya. “Mbah Ali sosok yang tegas namun sangat dekat dengan keluarga dengan karakternya yang juga humoris,” ujarnya.
Ahmad Majidun, sebagai moderator yang juga merupakan santri Mbah Ali memberikan pendahuluan dengan kenangan-kenangan bersama Mbah Ali. Menurut Majidun- ang mengaku sebagai santri Mbah Ali yang paling nakal- Mbah Ali adalah sosok romantis, bahkan seringkali mengatakan, “Koe wis ora sayang karo aku?” kepada santri-santrinya.
Majidun juga mengisahkan kisah romantisnya bersama Mbah Ali, yaitu saat diantarkan Mbah Ali berangkat ke IAIN karena sudah tiga bulan tidak berangkat kuliah.
Seluruh pembedah memulai pemaparannya dengan kisah-kisah yang dialaminya semasa nyantri kepada Mbah Ali. Buku Catatan Seorang Santri karya Henry Sutopo tidak sepenuhnya seratus persen tentang Mbah Ali, tetapi buku tersebut ditulis seratus persen karena terinspirasi dari Mbah Ali.
Sosok Mbah Ali yang humanis dan dekat dengan para santrinya, Kiai Habib Syakur banyak mengisahkan pengalamannya saat nyantri. Kiai Habib mengisahkan bahwa dulu itu sangat biasa para santri untuk ikut tidur bersama Mbah Ali di kamarnya, terlebih dengan santri-santri yang mau mendekat.
Di pungkas acara bedah buku, Kiai Ihsanudin menyampaikan bahwa Mbah Ali dulu sering mengatakan “Zayyinu anfusikum bil ma’shiyah.” Kiasan tersebut bermakna dalam, namun pada kesempatan ini Kiai Ihsanudin tidak memberi tahu bagaimana penjelasannya.
Selain itu disampaikan juga sedikit keterangan tambahan oleh KH Muslih Ilyas tentang bagaimana Mbah Ali begitu memperhatikan persoalan hak adami kepada para santrinya.
“Semua santri tidak ada yang tidak mempunyai kesan dengan Mbah Ali, semua selalu merasa menjadi terdekatnya, dan semua mempunyai kenangannya masing-masing,” pungkas Kiai Muslih.
Acara ditutup doa oleh Nyai Hj Luthfiyah Baidhowi, menantu Mbah Ali Allahyarham. (Imam Muzaki/NU-Online).