Pembangunan Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) DIY yang telah dirintis oleh kepengurusan NU DIY periode 2012 – 2016 menjadi salah satu bahasan dalam sidang pleno III yang dilaksanakan di arena Konferwil, Sabtu (17/12/16) malam. Sidang ini mendiskusikan hasil-hasil sidang Komisi A (Pokok-Pokok Program), Komisi B-1 (Bahsul Masail Waqi’i), Komisi B-2 (Bahsul Masail Maudlu’i), dan Komisi C (Rekomendasi & Organisasi). Peserta Konferwil merekomendasikan agar pendirian NU DIY bisa terus dilanjutkan oleh kepengurusan NU DIY periode selanjutnya.
Sidang yang dipimpin oleh Drs. H. Harsoyo, M.Si, juga membahas berbagai pokok-pokok program PWNU DIY 2016 – 2021 seperti penguatan ideologi aswaja, revitalisasi struktur dan perangkat organisasi, kaderisasi dan penguatan SDM NU, serta optimalisasi peran sosial kemasyarakatan.
Bahsul masail waqi’i, didiskusikan mengenai keharaman mencari jabatan dengan tujuan sekedar mencari status sosial, serta kebolehan menjual atau tukar guling asset tanah wakat untuk dibelikan tanah di tempat lain yang lebih strategis dan produktif. Bahsul masail maudlu’i membahas mengenai model penafsiran Al-Qur’an yang moderat dan sesuai dengan konteks keindonesiaan.
“Hal ini untuk menyikapi gerakan Islam yang mudah melakukan pembid’ahan terhadap tafsir yang berbeda dari golongannya. Lebih dari itu, mereka tidak segan-segan mengkafirkan orang-orang yang tidak sepaham,” tutur KH. Dr. Hilmy Muhammad saat menjelaskan hasil sidang.
Adapun dalam komisi rekomendasi dan organisasi, selain persoalan pendirian UNU DIY, juga mengemuka persoalan optimalisasi organisasi yang belum maksimal. Sikap PWNU tentang Sabda Raja turut menghangatkan diskusi, begitu pula upaya penanganan isu atau kejadian berbasis SARA. (Amru)