Momentum peringatan sumpah pemuda menjadi pelajaran penting bagi pemuda bangsa ini untuk selalu belajar dari pata tokoh bangsa. Banyak tokoh yang bisa dijadikan bahan belajar, salah satunya adalah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Sosok Gus Dur bisa dilihat di masa mudanya, yakni sosok yang ilmunya seluas samudera dan pribadinya yang kosmopolit.
Demikian ditegaskan Kiai Muhammad Mustafied, Pengasuh PPM Aswaja Nusantara Mlangi Sleman. Bagi Kiai Mustafied, Gus Dur muda dapat disebut sebagai seorang santri yang mutabahir dan kosmopolit, Gus Dur muda adalah santri yang menyamudera keilmuannya dan kosmopolit pribadinya. Kedua hal inilah yang menjadikan Gus Dur muda sangat menarik menjadi pelajaran kaum muda hari ini.
“Pertama, Bacaan. Intelektualisme Gus Dur terbentuk melalui bacaan terhadap tradisi pengetahuan yang beragam. Bukan hanya tradisi pengetahuan pesantren, Timur Tengah, namun juga Eropa, Asia, dan Amerika. Sejak remaja, Gus Dur telah mengunyah literatur yang world-class. Kajiannya terhadap teori-teori sosial yang banyak diproduksi oleh negara-negara Eropa, kegemarannya akan biografi presiden-presiden Amerika, menunjukkan sejak remaja sudah akrab dengan tradisi intelektual Barat. Ngajinya di Krapyak dengan Mbah Kyai Ali Ma’shum, di Tegalrejo dengan Mbah Kyai Khudori, yang dilanjutkan di Denanyar dan Tambakberas, memungkinkannya menyerap literatur dan khasanah pemikiran keislaman,” tegas Kyai Mustafied yang dulunya adalah Pengurus PB PMII.
“Semua itu dimungkinkan karena Gus Dur menguasai bahasa Arab, Inggris, Perancis, dan Belanda, serta akses yang luas dan kuat terhadap kitab-kitab serta buku bermutu. Tidak tanggung-tanggung, buku Das Capital-nya mbah Marx dan What Is To Be Done-nya mbah Lenin dikhatamkannya ketika masih di Yogyakarta. Dua nama itu adalah nama yang pasti dikenal oleh semua ilmuwan sosial dan selalu dijumpai bagi mahasiswa kajian sosial yang mengambil jurusan apapun. Kacamatanya yang tebal bukan karena sakit mata biasa, namun karena kesuntukannya dalam men-daras dan muthola’ah kitab-kitab dan buku-buku kunci,” lanjutnya.
Bagi Kyai Mustafied, tidak mengherankan jika dalam pengembaraan intelektualnya sempat berkenalan dan berdialog dengan gagasan-gagasan nasionalisme dan sosialisme Arab, Ikhwanul Musliman, teori pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan tentu saja para raksasa pemikir aswaja baik bidang akidah, syariah, maupun tasawwuf.
“Yang mengejutkan adalah, di samping melahap bacaan-bacaan kunci, Gus Dur juga sangat kuat mengkonsumsi bacaan-bacaan “ringan” seperti cerita silat. Gus Dur menjelaskan kegemarannya tersebut karena banyak prinsip hidup penting di dalamnya. Dunia silat dan pesantren memiliki kemiripan. Kesetiaan murid pada guru dalam dunia persilatan sangat dipentingkan dan akan menghadapi banyak cobaan, namun pada akhirnya akan menuia kemenangan. Dalam dunia silat, murid mengembangkan karakter, jiwa, dan keterampilan silat pada gurunya. Dalam pesantren, tegasnya, pembentukan karakter merupakan bagian terpenting,” tegas Kyai yang selalu menyemangi anak muda santri hari ini.
Pengalaman Gus Dur
Kyai Mustafied kembali menegaskan faktor kedua yang sangat penting dalam diri Gus Dur muda adalah pengalaman hidupnya. Keberadaannya di Jakarta sejak usia empat tahun, memberi Gus Dur kesempatan bergaul dan berinteraksi dengan tokoh-tokoh nasional, baik kalangan pemikir maupun aktivis. Mereka bukan hanya dari kalangan NU, namun juga Muhammadiyyah, non-muslim, nasionalis, orang-orang Eropa, bahkan komunis. Tan Malaka adalah salah satu tokoh pergerakan yang diingatnya, yang selalu datang dengan pakaian khas petani warna hitam, yang selalu menghabiskan waktu berjam-jam diskusi dengan ayahnya setiap kali berkunjung.
“Rumahnya di Jakarta yang penuh buku, majalah, dan koran ikut mewarnai dan membentuk kegemarannya membaca. Kultur diskusi dan sharing dalam keluarga yang dibentuk oleh ayah dan ibundanya turut membentuk sikap dan keterbukaan intelektualnya. Atmosfer sosial Jakarta, Jogja, Magelang, Jombang, dan kota-kota besar lainnya semakin memperkaya perspektifnya,” tegas Kyai Tafied. (md)