BANGKITMEDIA.COM – “Dalam perjalanan malam menuju Purwokerto, aku ditemani Hilda. Aku niatkan membaca untuk memperkuat perspektifku mengenai mubadalah melalui sastra, dan empati pada kekerasan sosial yang dialami perempuan dengan suara langsung kader ulama perempuan,” tutur Kiai Faqih Abdul Qodir, penulis buku “Qiro’ah Mubadalah”, dilansir dari status di akun Facebook beliau pada Senin (27/02/20).
Kiai Faqih menjelaskan bahwa novel Hilda karya Muyassaroh Hafidzoh, kader Fatayat NU Jogja ini adalah novel yang kuat, berangkat dari pengalaman nyata, ditulis dengan apik, penuh argumentasi tanpa menggurui, dan memberi jalan yang memberdayakan diri korban, sekaligus tetap menguatkan relasi kesalingan antara laki-laki dan perempuan.
“Jika teladan Nabi Saw, yang utama, seperti tertulis dalam at-Taubah ayat 128, adalah kepekaan dan empati pada problem yang dihadapi umat, maka novel ini akan mengasah kepekaan itu. Sekaligus menuntun bagaimana berempati pada para perempuan yang jadi korban kekerasan,” tegas Kiai Faqih.
“Aku bungah dan bangga dengan Ananda Muyassaroh Hafidzoh atas karya masterpiece sastra mubadalah ini. Bagi yang merasa berat membaca bukuku Qira’ah Mubadalah, inilah alternatifnya” tambah Kiai Faqih.
نويت القراءة وتعزيز نظرة المبادلة لله تعالى
“Merasakan auranya akan jadi best seller, bahkan naik level internasional. Mohon doanya yaaa” pungkasnya.
Sementara itu, sastrawan nasional Joni Ariadinata menegaskan bahwa setelah kemunculan novel Hati Suhita, Dua Barista, sekarang “Hilda”, bermunculannya novelis perempuan dari kalangan santri Pondok Pesantren (yang rata-rata meraup penjualan mengagumkan, —alias best seller), tampaknya menunjukkan bahwa masa depan buku–buku sastra masih cerah.
“Era internet semakin memudahkan bagi para penulis pondok pesantren (yang selama ini seperti tersembunyi), untuk bergerilya secara mandiri. Mereka berjibaku memanfaatkan kemudahan teknologi untuk memasarkan sendiri karyanya, membangun komunitas, dan mengembangkan jaringan pembaca di kalangan nahdiyin dan santri-santri di seluruh Indonesia,” tegas Joni.
“Inilah fenomena “Sastra Pesantren” hari ini,” pungkasnya.
(Icin/Bangkitmedia.com)