Khutbah Jum’at tentang Shaleh Sosial Saat Pandemi

Khutbah Jum'at tentang Shaleh Sosial Saat Pandemi

Khutbah Jum’at tentang Shaleh Sosial Saat Pandemi.

Khutbah Jum’at ini ditulis oleh Kyai Mu’inan Rafi’, S.H.I., M.S.I., Dosen Tetap Fakultas Ekonomi dan Bisnis Program Studi Ekonomi Syariah dan Perbankan Syariah Universitas Alma Ata (UAA) Yogyakarta, Tim PAI Kec. Mergangsan Kemenag Kota Yogyakarta dan aktif di MWC NU Mergangsan Kota Yogyakarta.

Tema khutbah ini tentang: Hingga Shaleh-pun Butuh Sosial (Aktualisasi Nilai-Nilai Humanis Saat Wabah Covid-19 Melanda).

Khutbah Pertama

ألحمدُ للهِ الّذِي يَهْدِى مَنْ يَشَاءُ بِفَضْلِهِ. أَشْهَدُ أَنْ لا إلهَ الاَّ الله وَحْدَهُ لا شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اللهمّ صلّى وسّلم على هذا الّنبيِّ الكريم والّرسولِ الّشفيعِ العظيمِ سّيدِناَ ومولاناَ محمّدٍ وعلى ألهِ وأصحابِهِ اجمعين. امّا بعد.
فَيَا ايّها الّناس اّتقوا الله, واتقوا يومًا لاتَجْزِى نَفْسٌ عَنْ نَفْسٍ شَيْئًا, وَلايُقْبَلُ مِنْهَا شَفَاعَةٌ وَلايُؤْخَذُ مِنْهَا عَدْلٌ وَلاهُمْ يُنْصَرُوْنَ.
فقد قال عزّ من قائل : اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

Hadlirin Jama’ah Jum’ah Rahimakumullah.

Dalam suasana hening seperti ini, saat kita bersimpuh dan bersila menyebut dan mensyukuri nikmat dan karunia Allah, maka kita juga kiranya wajib memantapkan mata batin berusaha semaksimal mungkin untuk merenungi kembali tentang hidup dan kehidupan kita di alam fana ini, dengan cara: إِمْتِثَالُ أَوَامِرِ اللهِ واجتنابُ نواهيهِ, yakni takwa untuk gemar menjalankan segala perintah-perintah-Nya dengan diiringi hati yang ikhlas, dan senantiasa meninggalkan segala apa yang telah dilarang-Nya dengan hati yang sabar, fa in-sya Allah kita selamat dari murka dan ancaman Allah SWT.

Hadlirin yang dimuliakan Allah.

Sebagai figur sentral di jamannya, suatu ketika baginda Rasulillah Muhammad SAW pernah ditanya oleh sahabatnya, “Ya Rasulallah? apa makna firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Ankabut ayat 45, yang artinya: bahwa shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar”

إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ

Atas pertanyaan itu, baginda Rasulillah Muhammad SAW menjawabnya dengan tegas sebagaimana dalam hadisnya informasi dari Ibn ‘Abbas riwayat at-Thabrani:

مَنْ لَمْ تَنْهَاهُ صَلاَتُهُ عَنِ اْلفَخْشَاءِ وَاْلمُنْكَرِ فَلاَ صَلاَةَ لَهُ اي لَمْ يَجْدَدْ بِهَا مِنَ اللهِ اِلاَّ بُعْدَهُ

Jawaban Rasulullah SAW tersebut mengandung suatu pengertian bahwa barangsiapa yang shalatnya tidak dapat untuk mencegah dari perbuatan keji dan munkar, dengan kata lain, shalat terus maksiat jalan, maka tidak ada shalat baginya. Dengan kata lain, ibadah vertikal (ma’a al-khaliq) atau hablum min Allah, tidak bisa dimbangi dengan ibadah sosial horizontal (ma’a al-makhluq) atau habl min al-nas, maka justru ibadah itu sia-sia belaka.

Hadlirin yang dimuliakan Allah.

Begitu pentingnya hubungan keduanya, sehingga tidaklah salah jika al-Qur’an surat al-Ma’un (107): 1-7, menjelaskan dengan sangat gamblang bahwa kecelakaan besar bagi orang yang mengerjakan/melakukan shalat,

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ

Dalam benak kita kemudian bertanya, mengapa mereka yang mengerjakan shalat justeru menjadi celaka? Karena mereka lalai/lupa dari shalatnya.

الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَ

Lalu siapa mereka yang lupa dengan shalatnya itu?

الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ . وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ

Yaitu: Orang-orang yang berbuat riya (pamer dalam beribadah) dan enggan (menolong dengan) barang berguna, yang menurut sebagian mufassirin mengartikannya dengan, enggan membayar zakat; serta mereka yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang-orang miskin. Hal ini sebagaimana rangkaian ayat-Nya:

فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ . وَلا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ

Hadlirin yang kami muliakan.

Maksud lalai dari shalatnya, bukan berarti kita lupa atau lalai untuk melaksanakan shalat atau sembahyang, akan tetapi lebih dari itu mereka melupakan fungsi ruh shalat itu sendiri sehingga nyaris tidak membekas dalam perilaku hidup sehari-hari. Dengan kata lain ibadah mahdhah (kepada Allah) tidak dibarengi dengan kearifan sosial, itulah orang yang mendustakan agama Allah, sebagaimana pada petikan ayat pertamanya yang berbunyi:

أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ

Atas dasar itu, sehingga kemudian kenapa dalam shalat yang selalu diawali dengan takbiratul ihram (takbir penghormatan dan ke Maha Besaran kepada-Nya sebagai rukun shalat), justru pada penghujung shalat diakhiri dengan salam (salam perdamaian kepada sekelilingnya/umat manusia)? –al-shalatu al-muftatahatu bi al-takbiratil ihram, wa mukhtatamatu bi al-taslim–. Pendek kata, Gerakan dalam shalat yang diakhiri dengan dilambangkan ucapan salam itu mengindikasikan bahwa setelah kita ingat kepada Allah (taqarrub/munajat) kepada-Nya, kita diwajibkan untuk ingat kepada manusia di sekelilingnya, kanan kiri kita, tetangga-tetangga kita, saudara-saudara kita serta orang-orang yang membutuhkan uluran tangan dan kepedulian kita.

Hadlirin rahimakumullah.

Sebagai kesimpulan, kiranya layak untuk kita renungi kembali sabda baginda Rasulillah SAW:

اِنماَ تُرْزَقُوْنَ وَتُنْصَرُوْنَ بِضُعَفَائِكُمْ

“Kalian diberi rejeki dan ditolong orang-orang kecil diantara kalian”. Nabi Muhammad SAW., mengingatkan kepada kita, kapan saja kita menikmati fisilitas, keleluasaan, kesenangan, kenikmatan dan lain-lain, ingatlah orang-orang miskin, anak yatim serta dhuafa. Bila kita memberikan sebagian kesenangan itu kepada mereka, janganlah kita anggap sebagai anugerah untuk mereka, tetapi anggaplah itu hutang kita kepada mereka, sekaligus kesempatan kita beramal untuk mereka.

Walhasil, barang siapa yang merasa fasih dalam melafadlkan Allahu Akbar, berarti dituntut untuk fasih mengucapkan salam Assalamu’alaikum warahmatullah. Dengan kata lain, berani menunaikan dan menjalankan shalat untuk mengabdi kepada-Nya, berarti di tuntut untuk berani bersikap sopan dan tawadlu’ dengan alam dan lingkungannya. Pendek kata, barangsiapa yang teguh dalam hablum min Allah (hubungan baik dengan Allah), maka harus teguh dalam hablum min an-nas (hubungan baik sesama manusia).

Dengan demikian secara karikatur dapat dilukiskan, bahwa gerakan dan ucapan dalam shalat yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri salam, secara sederhana dapat kita lukiskan bahwa seolah-olah Allah berfirman: “Baiklah memang kamu sudah selesai menghadap Aku, dan kamu tutup dengan salam, maka sekarang Aku izinkan kamu kembali kepada pekerjaanmu (yang sebelumnya dilarang ketika kamu sedang shalat), tapi kata Allah, Aku pesan ucapkan salam kepada sesamamu, tengok kanan kirimu, nyatakan bahwa kamu mempunyai komitmen kepada sesama manusia”, karena shalih-pun butuh sosial.

بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فيِ القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنيِ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآياَتِ وَالذِّكْرِ الحَكِيْمِ وَتَقَبَّلْ مِنيِّ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ.

Khutbah Jum’at Kedua

اْلحَمْدُ ِللهِ الَّذِى أَمَرَنَا بِالأِتِّحَادِ وَالأِعْتِصَامِ بِحَبْلِ اللهِ اْلمَتِيْنِ. أَشْهَدُ أَنْ لآ إِلهَ إلاَّ اللهِ وَحْدَهُ لا شَرِيْكَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسَوْلُهُ. أَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. (أما بعد)
فَيَا عِبَادَ اللهِ. إتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَسَارِعُوْا إِلَى مَغْفِرَةِ رَبِّ الْعَالمَيِنَ. وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ تَعَالى أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍبَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَنـىَّ بِمَلائِكَتِهِ اْلمُسَبِّحَةِ بِقُدْسِه. فَقَالَ تَعَالىَ فِى كِتَابِهِ اْلعَظِيْمِ. إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلى النَّبِيّ. ياَأيّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا: أَللّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ. وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ اْلأَ حْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ وَياَ قَاضِيَ اْلحاَجَاتِ.
الّلهُمَّ انْصُرْ أُمَّةَ محَمَّدٍ، الّلهُمَّ اْصلِحْ أُمَّةَ محَمَّدٍ، الّلهُمَّ ارْحَمْ أُمَّةَ محَمَّدٍ. الّلهُمَّ انْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ، وَاجْعَلْ بَلْدَتَناَ إِنْدُوْنِيْسِياَّ هذِهِ بَلْدَةً تَجْرِى فِيْهَا أَحْكَامُكَ وَسُنَّةُ رَسُوْلِكَ ياَ حَيُّ ياَ قَيُّوْمُ ياَ اِلهَنَا وَإِلهَ كُلِّ شَئ هَذَا حاَلُناَ ياَ اللهُ لآ يَخْفَى عَلَيْكَ. رَبَّنَا أَتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلأخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
عِـبَادَ اللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَـدْلِ وَالإْحْسَانِ وَ إِيْـتَاءِ ذِي الْقُـرْبىَ وَيَـنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ, يَعِضُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ, فَاذْكُرُوْا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرُكُمْ وَاشْكُرُوْا عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ, وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.

Demikian Khutbah Jum’at tentang Shaleh Sosial Saat Pandemi, semoga bermanfaat.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *