Menikah merupakan kesunahan bagi insan yang membutuhkan, karena dilatarbelakangi oleh dorongan nafsu yang tidak bisa dibendung lagi, dan tentunya sudah mempunyai biaya. Maka tidak disunahkan menikah bagi yang belum ada biaya, terutama untuk mas kawin dan belanja.
Menurut istilah syara’, Nikah adalah ikatan yang memperbolehkan bersetubuh dengan syarat rukunnya yang harus terpenuhi, menjalin kasih sayang untuk mencapai kepuasan lahir batin dan menjauhi pandangan mata yang haram. Selanjutnya untuk melestarikan keturunan shaleh-shalihah yang bersedia mendoakan kedua orang tua.
Namun, hukum menikah tidak selalu sunnah seperti yang sudah kita ketahui. Hukum menikah bisa menjadi makruh, sunnah, wajib bahkan haram tergantung masing-masing individu ataupun yang melatarbelakangi peristiwa nikah.
Syekh Syamsudin Abu Abdillah dalam bukunya yang berjudul Terjemah Fathul Qarib menjelaskan sebagai berikut:
- Makruh : Wanita yang dinikahi tidak jelas normal akalnya, atau tidak baik akhlak budi pekertinya, janda yang masih dipantau atau dalam pengawasan mantan suami yang cemburu.
- Sunah : Adanya keinginan pelampiasan nafsu birahi yang kuat dan fikirannya tidak tenteram kalau tidak nikah, sekalipun penuh percaya diri tidak akan terjarumus dalam perilaku keji.
- Wajib : Dipengaruhi dorongan nafsu birahi yang terlalu kuat, tumbuhnya kesadaran mengenai lemahnya pertahanan dalam menghindari perilaku keji misalnya berzina. Dan seandainya tidak segera menikah dikhawatirkan akan terjerumus kejurang kemaksiatan.
- Haram : Nikah disaat wanita sedang menjalani menjalani iddah, ihram haji, atau masih ada hubungan darah (Mahram).
Perlu kita ketahui dan fahami akan hukum-hukum menikah. Menikah tidak selamanya sunnah disaat ada faktor-faktor tertentu yang melatarbelakangi pernikahan tersebut. Hal tersebut juga menjadi langkah awal untuk menjadikan keluarga yang sakinah mawaddah dan warrohmah kedepannya.
*) Oleh : Achmad Zaky Faiz, Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta