Seiring maraknya gerakan “anti nganu”, kini muncul pula gerakan anti asuransi. Beberapa kali saya membaca viral tulisan yang mencap asuransi haram. Beberapa di antaranya ada yang dilengkapi dengan dasar dalil, berikut argumennya. Beberapa yang lain isinya hanya justifikasi emosional yang kental aroma fanatik kepada kelompok nganu.
Baiklah. Tulisan ini akan sedikit mengulasnya. Tentu mungkin akan membikin beberapa orang tidak puas dan tidak setuju. Tidak apa-apa. Saya menulis bukan untuk memuaskan orang lain. Tulisan ini juga bukan rapat RT, jadi ada yang gak setuju juga tidak masalah.
1. Paradigma Pihak yang Mengharamkan Asuransi
Setelah mencermati dalil-dalil dan argumen pihak yang mengharamkan asuransi maupun yang membolehkan, maka saya mulai bisa memetakan akar dan pangkal masalahnya. Paradigma, atau cara pandang adalah poin pentingnya.
Mereka yang mengharamkan asuransi kebanyakan memiliki paradigma bahwa asuransi adalah semacam transaksi “jual beli” atau “tabungan.”
Mereka yang memiliki paradigma asuransi adalah tabungan, maka ketika membayar, yang ada di benaknya adalah ia sedang menabung, semacam menitipkan uang kepada pihak lain. Katakanlah ia membayar 100.000 tiap bulan. Saat sudah berjalan 3 tahun, misalnya, ia menghitung 100.000 x 12 x 3 = 3.600.000. Jadi di benaknya, ia punya uang 3.600.000 yang dibawa oleh pihak penyelenggara asuransi.
Ia baru bisa memanfaatkan uang tersebut apabila jatuh sakit dan masuk RS. Bahkan ia bisa mendapatkan uang lebih banyak dari 3.600.000 tadi. Tetapi bila ia sehat-sehat saja, maka uangnya akan hilang.
Di sinilah muncul kesimpulan bahwa asuransi itu untung-untungan. Mirip perjudian. Bisa dapat untung, yakni bisa mendapat uang dalam jumlah yang lebih besar ketimbang total uang yang sudah dibayarkannya, dengan syaratnya harus sekarat dan masuk rumah sakit lebih dulu. Tetapi bila tidak sakit, uang tabungannya lenyap.
Karena dari awal paradigma yang dipakai adalah jual beli, atau menabung yang baru bisa menariknya bila jatuh sakit, maka dalil yang dipakai adalah dalil-dalil larangan judi (untung-untugan), larangan bay’ ghurur (jual beli yang tidak benar, menipu), riba, dzalim, dan lain sebagainya. Sengaja saya tidak tulis dalil-dalinya di sini karena akan kepanjangan. Saya ambil salah satunya ini:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“Rasulullah SAW melarang jual beli hashoh (hasil lemparan kerikil, itulah yang dibeli) dan melarang dari jual beli ghoror (mengandung unsur ketidakjelasan)” (HR. Muslim no. 1513).
Jadi menurut pihak ini, asuransi itu haram. Dosa. Padahal dalam kehidupan sehari-hari ia tidak lepas dari suransi. Misalnya saat membayar pajak motor tahunan (STNK), di sana ada variabel asuransi Jasaraharja yang dibayarkan secara rutin tiap tahun.
2. MENGGESER PARADIGMA: PARADIGMA IURAN
Paradigma di atas sudah selayaknya digeser ke paradigma baru, yakni paradigma iuran. Di sini, ketika seseorang menyerahkan uang ke pihak pengelola asuransi, maka dalam benaknya ia bukan sedang membeli suatu produk, juga bukan sedang menabung yang suatu saat akan mengambil uangnya lagi. Tetapi dalam benaknya, ia sedang membayar iuran. Mirip iuran dana sosial di kampung saya.
Di kampung saya tiap bulan ada iuran dana sosial sekian rupiah. Tiap KK harus membayar iuran ini. Bila ada warga yang masuk rumah sakit, nanti pihak pengurus RT akan memberikan santunan sekian rupiah. Warga yang sakit ini tidak akan menghitung total iuran yang sudah dibayarnya, lalu mengkalkulasi untung rugi dengan membandingkan santunan RT dan total iurannya selama ini. Uang iuran yang terkumpul tidak bisa diminta lagi. Jadi ini sifatnya tolong menolong antar warga.
BPJS sendiri adalah asuransi terbesar di Indonesia. Seluruh warga “kampung Indonesia” menjadi anggota dan membayar iuran bulanan ini kepada pihak pengelola BPJS.
BPJS jelas membawa manfaat besar bagi masyarakat luas. Banyak orang miskin terbantu dengan adanya BPJS. Jika BPJS termasuk asuransi, jenis asuransi kesehatran, sementara asuransi dicap haram, maka hukum BPJS juga akan jadi haram. Ini akan kontra produktif.
Sejarah BPJS, dulu sekitar tahun 2009, saya terlibat dalam sebuah penelitian tentang agama dan bencana di UGM. Hasil akhir penelitian itu saya presentasikan di UGM, bersama dengan para peneliti yang lain. Saat itu saya satu tim dengan mas Aat Hidayat yang sekarang jadi dosen IAIN kudus.
Dalam seminar itu hadir pula Prof. Ghufron Ali Mukti, yang saat itu menjabat sebagai dekan Fak. Kedokteran di UGM. Dalam forum ini, prof Ghufron menceritakan tradisi “saling tanggung” yang dimiliki masyarakat Indonesia. Misalnya ada seseorang yang sakit, maka para tetangganya akan menjenguk membawa amplop (uang). Nah, uang itu akan membantu biaya pengobatan si pasien selama dirawat di RS.
Menurut penelitian beliau, pernah ada kasus, uang dari amplop itu lebih dari cukup untuk membayar tagihan RS. bahkan masih ada sisa. Jadi secara tidak langsung, para tetangga tadi telah iuran, hingga bisa mengcover biaya RS. Hanya saja tidak terstandar dan tidak terorganisir dengan baik. Beliau berniat mengorganisir adat masyarakat ini dalam skala yang lebih besar, skala nasional.
Inilah yang kemudian mendasari ide beliau untuk membentuk asuransi kesehatan untuk mahasiswa s1 UGM dengan nama GMC (Gadjah Mada Medical Center). Iuran asuransi GMC ini dibayarkan bersama SPP saat kuliah.
Praktik GMC di UGM inilah yang kemudian diperluas secara nasional melalui BPJS saat Prof. Ali Ghufron Mukti jadi Wakil Menteri Kesehatan. Itulah kenapa dalam pembayaran bulanan, BPJS memakai istilah iuran.
Karena paradigmanya adalah iuran kesehatan untuk sesama anggota, dimana bila seorang peserta BPJS tidak sakit sama sekali, ia tidak ada niat untuk meminta uang yang selama ini dibayarkannya. Andaipun ia sakit dan masuk rumah sakit, ia juga tidak mengkalkulasi untung rugi antara biaya RS dan total iuran yang sudah dibayarkan.
Dengan demikian, dalam paradigma ini maka dalil yang diambil bukanlah dalil transaksi ghoror, bukan pula dalil jual beli ghurur, juga bukan dalil perjudian. Tetapi dalil yang dipakai adalah dalil tolong menolong dalam kebaikan. Implikasinya, asuransi (seperti BPJS dan lain-lain) menjadi sesuatu yang bukan hanya halal, tetapi termasuk perbuatan mulia. Dalilnya, salah satunya ini:
ۘتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya [al-Mâidah/5:2]
***
Singkatnya, bagaimana cara pandang seorang ustad atau ulama itu akan mempengaruhi dalil yang diambilnya, lalu dalil itu pada gilirannya akan menentukan isi pendapat (atau fatwanya), menentukan halal-haramnya sesuatu.
Jadi bila Anda ikut kelompok yang mengharamkan asuransi, atau bahkan ikut serta share viral anti asuransi, sementara saat sakit Anda memanfaatkan BPJS, atau setiap tahun bayar pajak STNK yang di sana ada variabel asuransi Jasaraharja, maka sebenarnya Anda sedang tidak konsisten secara tidak sadar.
Kalau saya, sudah menggeser kepada paradigma iuran tadi. Jadi bagi saya, BPJS, jasaraharja, dll, itu iuran, biar nanti bisa membantu kalo ada sodara sebangsa yang apes, sakit akibat kecelakaan, dll. Dan, gantian. Bila suatu saat saya sakit, maka saya yang akan ditolong oleh sodara-sodara sekampung, kampung Indonesia Raya.
Tabik
Penulis: Dr. Ali Imron MSI, Dosen Ilmu Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.